Di
antara putera-putera Kiai Saleh, pengasuh pesantren "Sabilul Muttaqin"
dan sesepuh di daerah kami, Gus Jakfar-lah yang paling menarik
perhatian masyarakat. Mungkin Gus Jakfar tidak sealim dan sepandai
saudara-saudaranya, tapi dia mempunyai keistimewaan yang membuat
namanya tenar hingga ke luar daerah, malah konon beberapa pejabat
tinggi dari pusat memerlukan sowan khusus ke rumahnya setelah
mengunjungi Kiai Saleh. Kata Kang Solikin yang dekat dengan keluarga
ndalem, bahkan Kiai Saleh sendiri segan dengan anaknya yang satu itu.
"Kata
Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri," cerita Kang
Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedang membicarakan
putera bungsu Kiai Saleh itu. "Saya sendiri tidak paham apa maksudnya."
"Tapi,
Gus Jakfar memang luar biasa," kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang
sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. "Matanya itu lho. Sekilas
saja mereka melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya
yang tersembunyi. Kalian ingat, Sumini yang anak penjual rujak di
terminal lama yang dijuluki perawan tua itu, sebelum dilamar orang
sabrang kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, 'Sum,
kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang ngelamar ya?'. Tak lama
kemudian orang sabrang itu datang melamarnya."
"Kang
Kandar kan juga begitu," timpal Mas Guru Slamet. "Kalian kan mendengar
sendiri ketika Gus Jakfar bilang kepada tukang kebun SD IV itu, 'Kang,
saya lihat hidung sampeyan kok sudah bengkok, sudah capek menghirup
nafas ya?' Lho, ternyata besoknya Kang Kandar meninggal."
"Ya.
Waktu itu saya pikir Gus Jakfar hanya berkelakar," sahut Ustadz Kamil,
"Nggak tahunya beliau sedang membaca tanda pada diri Kang Kandar."
"Saya
malah mengalami sendiri," kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi
sudah kepingin ikut bicara. "Waktu itu, tak ada hujan tak ada angina,
Gus Jakfar bilang kepada saya, 'Wah, saku sampeyan kok mondol-mondol;
dapat proyek besar ya?' Padahal saat itu saku saya justru sedang kemps.
Dan percaya atau tidak, esok harinya saya memenangkan tender yang
diselenggarakan Pemda tingkat propinsi."
"Apa yang begitu itu disebut ilmu kasyaf?" tanya Pak Carik yang sejak tadi hanya asyik mendengarkan.
"Mungkin
saja," jawab Ustadz Kamil. "Makanya saya justru takut ketemu Gus
Jakfar. Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya
terganggu."
***
Maka, ketika kemudian sikap Gus Jakfar
berubah, masyarakat pun geger; terutama para santri kalong, orang-orang
kampung yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren seperti Kang
Solikin yang selama ini merasa dekat dengan beliau. Mula-mula Gus
Jakfar menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu
sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan
tak mau lagi membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan
isyarat-isyarat yang berbau ramalan. Ringkas kata, dia benar-benar
kehilangan keistimewaannya.
"Jangan-jangan ilmu beliau
hilang pada saat beliau menghilang itu," komentar Mas Guru Slamet penuh
penyesalan. "Wah, sayang sekali! Apa gerangan yang terjadi pada
beliau?"
"Ke mana beliau pergi saat menghilang pun, kita
tidak tahu;" kata Lik Salamun. "Kalau saja kita tahu ke mana beliau
pergi, mungkin kita akan mengetahui apa yang terjadi pada beliau dan
mengapa beliau kemudian berubah."
"Tapi, bagaimanapun ini
ada hikmahnya," ujar Ustadz Kamil. "Paling tidak, kini kita bisa
setiap saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan dan was-was; bisa
mengikuti pengajiannya dengan niat tulus mencari ilmu. Maka, jangan
kita ingin mengetahui apa yang terjadi dengan gus kita ini hingga
sikapnya berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya kita langsung saja
menemui beliau."
Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, pada
malam Jum'at sehabis wiridan salat Isya, saat mana Gus Jakfar prei,
tidak mengajar; rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya.
Kali ini hampir semua anggota rombongan merasakan keakraban Gus Jakfar,
jauh melebihi yang sudah-sudah. Mungkin karena kini tidak ada lagi
sekat berupa rasa segan, was-was dan takut.
Setelah
ngobrol ke sana kemari, akhirnya Ustadz Kamil berterus terang
mengungkapkan maksud utama kedatangan rombongan: "Gus, di samping
silaturahmi seperti biasa, malam ini kami datang juga dengan sedikit
keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin tahu latar
belakang perubahan sikap sampeyan."
"Perubahan apa?" tanya Gus
Jakfar sambil tersenyum penuh arti. "Sikap yang mana? Kalian ini
ada-ada saja. Saya kok merasa tidak berubah."
"Dulu
sampeyan kan biasa dan suka membaca tanda-tanda orang," tukas Mas Guru
Slamet, "kok sekarang tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi membaca,
bahkan diminta pun tak mau."
"O, itu," kata Gus Jakfar
seperti benar-benar baru tahu. Tapi dia tidak segera meneruskan
bicaranya. Diam agak lama. Baru setelah menyeruput kopi di depannya,
dia melanjutkan, "Ceritanya panjang." Dia berhenti lagi, membuat kami
tidak sabar, tapi kami diam saja.
"Kalian ingat, saya lama
menghilang?" akhirnya Gus Jakfar bertanya, membuat kami yakin bahwa
dia benar-benar siap untuk bercerita. Maka serempak kami mengangguk.
"Suatu malam saya bermimpi ketemu ayah dan saya disuruh mencari seorang
wali sepuh yang tinggal di sebuah desa kecil di lereng gunung yang
jaraknya dari sini sekitar 200 km kea rah selatan. Namanya Kiai
Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi itu, hanya kiai-kiai tertentu yang tahu
tentang kiai yang usianya sudah lebih 100 tahun ini. Santri-santri
yang belajar kepada beliau pun rata-rata sudah disebut kiai di daerah
masing-masing."
"Terus terang, sejak bermimpi itu, saya
tidak bisa menahan keinginan saya untuk berkenalan dan kalau bisa
berguru kepada Wali Tawakkal itu. Maka dengan diam-diam dan tanpa pamit
siapa-siapa, saya pun pergi ke tempat yang ditunjukkan ayah dalam
mimpi dengan niat bilbarakah dan menimba ilmu beliau. Ternyata, ketika
sampai di sana, hampir semua orang yang saya jumpai mengaku tidak
mengenal nama Kiai Tawakkal. Baru setelah seharian melacak ke sana
kemari, ada seorang tua yang memberi petunjuk."
'Cobalah
nakmas ikuti jalan setapak di sana itu' katanya. 'Nanti nakmas akan
berjumpa dengan sebuah sungai kecil; terus saja nakmas menyeberang.
Begitu sampai seberang, nakmas akan melihat gubuk-gubuk kecil dari
bambu. Nah, kemungkinan besar orang yang nakmas cari akan nakmas jumpai
di sana. Di gubuk yang terletak di tengah-tengah itulah tinggal seorang
tua seperti yang nakmas gambarkan. Orang sini memanggilnya Mbah Jogo.
Barangkali itulah yang nakmas sebut Kiai siapa tadi?'
'Kiai Tawakkal.'
'Ya, Kiai Tawakkal. Saya yakin itulah orangnya, Mbah Jogo.'
"Saya pun mengikuti petunjuk orang tua itu, menyeberang sungai dan menemukan sekelompok rumah gubuk dari bambu."
"Dan
betul, di gubuk bambu yang terletak di tengah-tengah, saya menemukan
Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang dikelilingi santri-santrinya yang
rata-rata sudah tua. Saya diterima dengan penuh keramahan, seolah-olah
saya sudah merupakan bagian dari mereka. Dan kalian tahu? Ternyata
penampilan Kiai Tawakkal sama sekali tidak mencerminkan sosoknya
sebagai orang tua. Tubuhnya tegap dan wajahnya berseri-seri. Kedua
matanya indah memancarkan kearifan. Bicaranya jelas dan teratur. Hampir
semua kalimat yang meluncur dari mulut beliau bermuatan kata-kata
hikmah."
Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti, menarik nafas
panjang, baru kemudian melanjutkan, "Hanya ada satu hal yang membuat
saya terkejut dan tgerganggu. Saya melihat di kening beliau yang lapang
ada tanda yang jelas sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan
huruf yang cukup besar dan berbunyi 'Ahli Neraka'. Astaghfirullah!
Belum pernah selama ini saya melihat tanda yang begitu gambling. Saya
ingin tidak mempercayai apa yang saya lihat. Pasti saya keliru. Masak
seorang yang dikenal wali, berilmu tinggi, dan disegani banyak kiai
yang lain, disurati sebagai ahli neraka. Tak mungkin. Saya mencoba
meyakin-yakinkan diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak bisa.
Tanda itu terus melekat di kening beliau. Bahkan belakangan saya
melihat tanda itu semakin jelas ketika beliau habis berwudhu. Gila!"
"Akhirnya
niat saya untuk menimba ilmu kepada beliau, meskipun secara lisan
memang saya sampaikan demikian, dalam hati sudah berubah menjadi
keinginan untuk menyelidiki dan memecahkan keganjialan ini. Beberapa
hari saya amati perilaku Kiai Tawakkal, saya tidak melihat sama sekali
hal-hal mencurigakan. Kegiatan rutinnya sehari-hari tidak begitu berbeda
dengan kebanyakan kiai yang lain: mengimami salat jamaah; melakukan
salat-salat sunnat seperti dhuha, tahajjud, witir,dsb.; mengajar
kitab-kitab (umumnya kitab-kitab besar); mujahadah; dzikir malam;
menemui tamu; dan semacamnya. Kalaupun beliau keluar, biasanya untuk
memenuhi undangan hajatan atau- dan ini sangat jarang sekali- mengisi
pengajian umum. Memang ada kalanya beliau keluar pada malam-malam
tertentu; tapi menurut santri-santri yang lama, itu pun merupakan
kegiatan rutin yang sudah dijalani Kiai Tawakkal sejak muda. Semacam
lelana brata, kata mereka."
"Baru setelah beberapa minggu
tinggal di 'pesantren bambu', saya mendapat kesempatan atau tepatnya
keberanian untuk mengikuti Kiai Tawakkal keluar. Saya pikir, inilah
kesempatan untuk mendapatkan jawaban atas tanda tanya yang selama ini
mengganggu saya."
"Begitulah, pada suatu malam purnama,
saya melihat Kiai keluar dengan berpakaian rapi. Melihat waktunya yang
sudah larut, tidak mungkin beliau pergi untuk mendatangi undangan
hajatan atau lainnya. Dengan hati-hati saya membuntutinya dari
belakang; tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Dari jalan
setapak hingga ke jalan desa, Kiai terus berjalan dengan langkah yang
tetap tegap. Akan ke mana beliau gerangan? Apa ini yang disebut semacam
lelana brata? Jalanan semakin sepi; saya pun semakin berhati-hati
mengikutinya, khawatir tiba-tiba Kiai menoleh ke belakang."
"Setelah
melewati kuburan dan kebun sengon, beliau berbelok. Ketika kemudian
saya ikut belok, saya kaget, ternyata sosoknya tak kelihatan lagi. Yang
terlihat justru sebuah warung yang penuh pengunjung. Terdengar gelak
tawa ramai sekali. Dengan bengong saya mendekati warung terpencil
dengan penerangan petromak itu. Dua orang wanita- yang satu masih muda
dan yang satunya lagi agak lebih tua- dengan dandanan yang menor sibuk
melayani pelanggan sambil menebar tawa genit ke sana kemari. Tidak
mungkin Kiai mampir ke warung ini, pikir saya. Ke warung biasa saja
tidak pantas, apalagi warung yang suasananya saja mengesankan kemesuman
ini.
'Mas Jakfar!' tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara
yang tidak asing di telinga saya, memanggil-manggil nama saya.
Masyaallah, saya hampir-hampir tidak mempercayai pendengaran dan
penglihatan saya. Memang betul, mata saya melihat Kiai Tawakkal
melambaikan tangan dari dalam warung. Ah. Dengan kikuk dan pikiran tak
karuan, saya pun terpaksa masuk dan menghampiri kiai yang saya yang
duduk santai di pojok. Warung penuh dengan asap rokok. Kedua wanita
menor menyambut saya dengan senyum penuh arti. Kiai Tawakkal menyuruh
orang disampingnya untuk bergeser, 'Kasi kawan saya ini tempat
sedikit!' Lalu, kepada orang-orang yang ada di warung, Kiai
memperkenalkan saya. Katanya, 'Ini kawan saya, dia baru datang dari
daerah yang cukup jauh. Cari pengalaman katanya'. Mereka yang duduknya
dekat serta merta mengulurkan tangan, menjabat tangan saya dengan
ramah; sementara yang jauh melambaikan tangan".
"Saya
masih belum sepenuhnya menguasai diri, masih seperti dalam mimpi,
ketika tiba-tiba saya dengar Kiai menawari, 'Minum kopi ya?!' Saya
mengangguk asal mengangguk. 'Kopi satu lagi, Yu!' kata Kiai kepada
wanita warung sambil mendorong piring jajan ke dekat saya. 'Silakan! Ini
namanya rondo royal, tape goreng kebanggan warung ini! Lagi-lagi saya
hanya menganggukkan kepala asal mengangguk."
"Kiai
Tawakkal kemudian asyik kembali dengan 'kawan-kawan'-nya dan membiarkan
saya bengong sendiri. Saya masih tak habis pikir, bagaimana mungkin
Kiai Tawakkal yang terkenal waliyullah dan dihormati para kiai lain
bisa berada di sini. Akrab dengan orang-orang beginian; bercanda dengan
wanita warung. Ah, inikah yang disebut lelana brata? Ataukah ini
merupakan dunia lain beliau yang sengaja disembunyikan dari umatnya?
Tiba-tiba saya seperti mendapat jawaban dari tanda tanya yang selama ini
mengganggu saya dan karenanya saya bersusah payah mengikutinya malam
ini. O, pantas di keningnya kulihat tanda itu. Tiba-tiba sikap dan
pandangan saya terhadap beliau berubah."
'Mas, sudah larut
malam,'tiba-tiba suara Kiai Tawakkal membuyarkan lamunan saya. 'Kita
pulang, yuk!' Dan tanpa menunggu jawaban saya, Kiai membayari minuman
dan makanan kami, berdiri, melambai kepada semua, kemudian keluar.
Seperti kerbau dicocok hidung, saya pun mengikutinya. Ternyata setelah
melewati kebon sengon, Kiai Tawakkal tidak menyusuri jalan-jalan yang
tadi kami lalui. 'Biar cepat, kita mengambil jalan pintas saja!'
katanya."
"Kami melewati pematang, lalu menerobos hutan,
dan akhirnya sampai di sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya menyaksikan
kejadian yang menggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan di atas permukaan
air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja. Sampai di seberang,
beliau menoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung. Beliau
melambai. 'Ayo!' teriaknya. Untung saya bisa berenang; saya pun
kemudian berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar. Sampai di
seberang, ternyata Kiai Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah pohon randu
alas, menunggu. 'Kita istirahat sebentar,' katanya tanpa menengok saya
yang sibuk berpakaian. 'Kita masih punya waktu, insya Allah sebelum
subuh kita sudah sampai pondok.'
Setelah saya ikut duduk
di sampingnya, tiba-tiba dengan suara berwibawa, Kiai berkata
mengejutkan, 'Bagaimana? Kau sudah menemukan apa yang kaucari? Apakah
kau sudah menemukan pembenar dari tanda yang kaubaca di kening saya?
Mengapa kau seperti masih terkejut? Apakah kau yang mahir melihat
tanda-tanda menjadi ragu terhadap kemahiranmu sendiri?' Dingin air
sungai rasanya semakin menusuk mendengar rentetan pertanyaan beliau
yang menelanjangi itu. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Beliau yang
kemudian terus berbicara.
'Anak muda, kau tidak perlu
mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda "Ahli Neraka" di kening
saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang
menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena, pertama, apa
yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang
bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah
milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia memasukkan diriku ke
sorga atau neraka. Untuk memasukkan hamba-Nya ke sorga atau neraka,
sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau
berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau
berani mengatakan bahwa orang-orang di warung yang tadi kau pandang
sebelah mata itu pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita
ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat dengan-Nya,
tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? Karena
kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?'
Aku
hanya bisa menunduk. Sementara Kiai Tawakkal terus berbicara sambil
menepuk-nepuk punggung saya. 'Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat
cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah
gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. Seperti mereka yang
di warung tadi; kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kau
bayangkan bersikap takabbur; ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung
membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang mempunyai
kemampuan dan kelebihan: godaan untuk takabbur dan sebagainya itu
datang setiap saat. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui
oleh banyak pihak'
Malam itu saya benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa yang selama ini sudah saya ketahui.
'Ayo
kita pulang!' tiba-tiba Kiai bangkit. 'Sebentar lagi subuh. Setelah
sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.' Saya tidak merasa diusir;
nyatanya memang saya sudah mendapat banyak dari kiai luar biasa ini."
"Ketika
saya ikut bangkit, saya celingukan. Kiai Tawakkal sudah tak tampak
lagi. Dengan bingung saya terus berjalan. Kudengar azan subuh
berkumandang dari sebuah surau, tapi bukan surau bambu. Seperti orang
linglung, saya datangi surau itu dengan harapan bisa ketemu dan
berjamaah salat subuh dengan Kiai Tawakkal. Tapi, jangankan Kiai
Tawakkal, orang yang mirip beliau pun tak ada. Tak seorang pun dari
mereka yang berada di surau itu yang saya kenal. Baru setelah
sembahyang, seseorang menghampiri saya. 'Apakah sampeyan Jakfar?'
tanyanya. Ketika saya mengiyakan, orang itu pun menyerahkan sebuah
bungkusan yang ternyata berisi barang-barang milik saya sendiri. 'Ini
titipan Mbah Jogo, katanya milik sampeyan.'
'Beliau di mana?' tanya saya buru-buru.
'Mana
saya tahu?' jawabnya. 'Mbah Jogo datang dan pergi semaunya. Tak ada
seorang pun yang tahu dari mana beliau datang dan ke mana beliau
pergi.'
Begitulah ceritanya. Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil mengubah sikap saya itu tetap merupakan misteri."
Gus
Jakfar sudah mengakhiri ceritanya, tapi kami yang dari tadi suntuk
mendengarkan masih diam tercenung sampai Gus Jakfar kembali menawarkan
suguhannya.