ALIRAN WAHABI
I.
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini
marak perkembangan gerakan “keagamaan” yang disebut sebagai gerakan Salafi.
Sering mereka mengklaim bahwa mereka hadir bermaksud menghidupkan kembali
ajaran ulama salaf untuk menyelamatkan umat dari amukan dan badai fitnah yang
melanda dunia Islam hari ini. Acapkali gerakan ini menegaskan bahwa kelompok
yang selain mereka tidak ada jaminan memberikan alternatif (baca: keselamatan). Tidak jarang juga mereka mengklaim
bahwa golongan yang selamat yang dinubuatkan oleh Nabi Saw adalah golongan
mereka. Tentu saja, konsekuensi dari klaim ini adalah menafikan kelompok yang
lain. Artinya bahwa kelompok mereka yang benar selainnya adalah sesat (itsbat
asy-syai yunafi maa adahu). Kalau kita mau berkaca pada sejarah, gerakan
Salafi ini sebenarnya bukan gerakan baru. Mereka bermetamorfosis dari gerakan
pemurnian ajaran Islam Wahabi yang dikerangka konsep pemikiranyna oleh Ibn
Taimiyah yang kemudian dibesarkan oleh muridnya Muhammad bin Abdulwahab,
menjadi gerakan Salafi. Metamorfosis ini jelas untuk memperkenalkan ajaran
usang dengan pendekatan dan nama baru.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Bagaimana
Sejarah Aliran Wahabi?
B.
Bagaimana
Ajaran-ajaran Wahabi dalam Bidang Ketauhidan?
C.
Apa Pembaharuan
Pemikiran dalam Aliran Wahabi?
III.
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Aliran Wahabi
Gerakan Wahabi atau aliran Wahabiyyah
adalah gerakan yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab di Arab Saudi
(115-1201 H)/(1703-1787 M). Sebagai
gerakan pemurnian islam yang secara keras dilakukan untuk memberantas bid’ah
dan khufarat dalam pengalaman islam. Gerakan atau aliran ini sangat dipengaruhi
oleh Ibnu Taimiyyah yang menganut madzhab Hambali.
Pengikut-pemgikutnya tidak m,emakai
sebutan wahabi, melainkan Muwahhidun.[1]
Menurut doktrin wahabi kembali pada kemurnian, keserdehanaan, dan ketulusan
islam yang sepenuhnya diperoleh dengan menerapkan perintah nabi secara
harfiyyah dan dengan ketaatan penuh terhadap peraktek ritual dan benar. Wahabi
menolak semua upaya untuk menafsirkan hukum Allah secara historis dan
kontekstual, karena dapat menimbulkan multitafsir ketika seiring dengan
perkembangan zaman.
B.
Ajaran-ajaran
Wahabiyah dalam Ilmu Ketauhidan
Akidah-akidah
yang kokoh dari aliran wahabi pada hakikatnya tidak berbeda dengan apa yang
dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah. pe bedaan yang ada, hanya dalam melaksanakan
dan menafsirkan beberapa persoalan tertentu. Akidah-akidahnya dapat disimpulkan
dalam dua bidang, yaitu bidang tauhid (pengesaan) dan bidang bid’ah.[2]
Adapun ajaran aliran wahabiyah dalam ilmu
ketauhidan adalah sebagai berikut:
1.
Penyembahan
kepada selain Allah SWT adalah salah, dan siapa yang berbuat demikian dia
dibunuh.
2.
Orang yang
mencari ampunan Allah SWT dengan mengunjungi kuburan orang-orang sholih (wali),
termasuk golongan musyrikin.
3.
Termasuk dalam
golongan perbuatan musyrik memberikan pengantar kata dalam sholat terhadap nama
nabi-nabi atau wali atau malaikat.
4.
Termasuk kufur
memberikan suatu ilmu yang tidak didasarkan atas al Qur’an dan as Sunah, atau
ilmu yang bersumber kepada akal pikiran semata.
5.
Termasuk kufur
dan ilhad juga mengingkari qodar dalam semua perbuatan dan penafsiran al Qur’an
dengan jalan takwil.
6.
Dilarang memakai
buah tasbih dan dalam mengucapkan nama Allah SWT dan doa-doa cukup dengan
menghitung kerata jari.
7.
Sumber syariat
islam dalam soal haram dan halal, hanyalah Al-Qur’an semata dan sumber lain
yang sesudahnya ialah sunnah rasul. Pendapat ulama’ mutakallimin dan fuqoha’
tentang halal dan haram tidak menjadi pegangan, selma tidak didasarkan atas
kedua sumber tersebut.
8.
Pintu ijtihad
tetap terbuka dan siapapun boleh melakukannya, asal sudah memenuhi
syarat-syaratnya.[3]
C. Pembaharuan Pemikiran dalam Aliran Wahabi
Paham wahabi dengan pondsai pemikiran Salafi menentang seluruh bentuk perubahan dalam kehidupan umat manusia. Ketika Abdul Aziz bin Abdurrahman pada tahun 1344 Q menjadi penguasa dua haram yang suci (mekkah al mukarramah dan madinah al munawwarah), terpaksa harus membangung dan mengatur system pemerintahannya sesuai dengan model pemerintahan pada umumnya ketika itu dan merubah pola kehidupan wahabi yang sesuai dengan kebiasaan arab Baduy-Najad. Dan ia menyetujui mengimpor produk teknologi modern ketika itu seperti telegraf, telephon, sepeda, mobil dan lain-lain. Dan sikapnya ini membakar api kemarahan para pengikutnya yang muta’shib, menyebabkan terjadinya kejadian tragedi berdarah yang terkenal dalam sejarah sebagai peristiwa “berdarah Akhwan”.
Ahmad Amin,
penulis asal Mesir, ketika membahas tentang kelompok Wahabi, mengatakan bahwa
pemikiran wahabi sekarang yang berkembang ini pada hakikatnya 100 persen
bertolak belakang dengan pemikiran wahabi di masa lalu. Ahmad Amin menulis: “Wahabi
menolak peradaban baru dan tuntutan peradaban baru dan modern, mayoritas di
antara mereka meyakini bahwa hanya Negaranyalah sebagai negara islam
sementara Negara-negara lain bukan Negara islam karena negara-negara tersebut
telah menciptakan bid’ah bahkan menyebarluaskannya dan wajib bagi mereka
memerangi Negara tersebut.
Semasa Ibn Sa’ud
berkuasa, ia menghadapi dua kekuatan besar dan tidak jalan lain kecuali harus
memilih salah satunya yaitu pertama, pemuka-pemuka agama yang
tinggal di Najad memiliki akar pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab yang menolak
dengan keras segala bentuk perubahan dan peradaban baru. Kedua; arus peradaban baru
yang dalam system pemerintahn sangat
membutuhakn alat tekhnoligi modern tersebut.
Pemerintahan, mengambil jalan tengah
dari kedua kekuatan tersebut dengan cara mengakui Negara-negara islam yang lain sebagai negar Islam dan juga di
samping menggiatkan pengajaran agama mereka juga memberikan pengajaran
peradaban modern dan mengatur sistem pemerintahannya berdasarkan sistem
pemerintahan modern. Untungnya para pemimpin Negara Saudi telah lelah melayani
cara berpikir dan aturan-aturan kering dan kaku pemikiran wahabi yang
menjauhkan kaum muslimin dari sunnah dan warisan sejarah yang diyakini seluruh
kaum muslimin dan menghancurkan tampat-tempat suci mereka juga menafikan
seluruh bentuk penemuan baru dan menganggapnya sebagai bidah. Dan dengan
memperhatikan serangkaian peristiwa yang tidak dapat ditutup-tutupi lagi
(seperti bertambahnya tekanan dan ancaman Amerika dan Israel terhadap
Negara-negara Islam dan Negara-negara Arab setiap hari dan kehadiran dan peran
aktif pemerintahan Republik Islam Iran dalam hidup berdampingan dan damai
dengan Negara-negara tetangganya serta memimpin perlawanan terhadap hegemoni
yahudi). Hal tersebut di atas menyebabkan secara perlahan-perlahan pandangan
negara Arab Saudi menjadi netral dan stabil terhadap negara Republik Islam Iran
bahkan lebih dari itu mereka meninjau kembali ajaran-ajaran kering wahabi serta
pengkafiran kaum muslimin. tidak ada yang lebih indah yang dilakukan oleh
Negara yang menjadi tuan rumah umat islam pada perhelatan akbar ibadah haji
setiap tahun, kecuali menjadi negara netral dan meninjau kembali pandangan
mereka selama ini.[4]
IV.
KESIMPULAN
Gerakan Wahabi atau aliran Wahabiyyah
adalah gerakan yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab di Arab Saudi
(115-1201 H)/(1703-1787 M). Sebagai
gerakan pemurnian islam yang secara keras dilakukan untuk memberantas bid’ah
dan khufarat dalam pengalaman islam. Gerakan atau aliran ini sangat dipengaruhi
oleh Ibnu Taimiyyah yang menganut madzhab Hambali.
Akidah-akidah yang kokoh dari aliran wahabi
pada hakikatnya tidak berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah.
pe bedaan yang ada, hanya dalam melaksanakan dan menafsirkan beberapa persoalan
tertentu. Akidah-akidahnya dapat disimpulkan dalam dua bidang, yaitu bidang
tauhid (pengesaan) dan bidang bid’ah.
Paham wahabi dengan pondsai
pemikiran Salafi menentang seluruh bentuk perubahan dalam kehidupan umat
manusia. Ketika Abdul Aziz bin Abdurrahman pada tahun 1344 H menjadi penguasa
dua haram yang suci (mekkah al mukarramah dan madinah al munawwarah), terpaksa
harus membangung dan mengatur system pemerintahannya sesuai dengan model pemerintahan
pada umumnya ketika itu dan merubah pola kehidupan wahabi yang sesuai dengan
kebiasaan arab Baduy-Najad. Dan ia menyetujui mengimpor produk teknologi modern ketika itu seperti
telegraf, telephon, sepeda, mobil dan lain-lain. Dan sikapnya ini membakar api
kemarahan para pengikutnya yang muta’shib, menyebabkan terjadinya kejadian
tragedi berdarah yang terkenal dalam sejarah sebagai peristiwa “berdarah
Akhwan”.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah
yang bisa pemakalah sampaikan bila ada kesalahan maupun kekurangan mohon
dimaklumi, kritik dan saran sangat pemakalah harapkan. Semoga bisa bermanfaat
khususnya bagi pemakalah dan umumnya bagi pembaca. Amin......
DAFTAR
PUSTAKA
A.
Nasir, Sahilun, Pemikiran Kalam Teologi Islam, Jakarta: Rajawali Pers,
2010.
Hanafi, Ahmad, Pengantar Teologi Islam, cet. III, Jakarta:
Pustaka Al-Husna, 1989.
Syukur,
Aswadi, Al-Mina wa Al-Niha, Surabaya:
LC Penerbit, tt.
No comments:
Post a Comment