Thursday 16 May 2013

Memaknai Masalah dengan Bijak

 Foto: Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada
suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang
sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya
gontai dan air muka yang ruwet. Tamu itu, memang
tampak seperti orang yang tak bahagia. Tanpa
membuang waktu, orang itu menceritakan semua
masalahnya. Pak Tua yang bijak, hanya
mendengarkannya dengan seksama. Ia Ialu
mengambil segenggam garam, dan meminta
tamunya untuk mengambil segelas air.
Ditaburkannya garam itu kedalam gelas, Ialu
diaduknya perlahan. "Coba, minum ini, dan katakan
bagaimana rasanya..", ujar Pak tua itu.
"Pahit. Pahit sekali", jawab sang tamu, sambil
meludah kesamping. Pak Tua itu, sedikit tersenyum.
Ia, lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi
telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya.
Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan
akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang
tenang itu. Pak Tua itu, Ialu kembali menaburkan
segenggam garam, ke dalam telaga itu. Dengan
sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-
aduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan
telaga itu. "Coba, ambil air dari telaga ini, dan
minumlah.Saat tamu itu selesai mereguk air itu, Pak
Tua berkata lagi, "Bagaimana rasanya?".
"Segar.", sahut tamunya. "Apakah kamu merasakan
garam di dalam air itu?", tanya Pak Tua lagi. "Tidak",
jawab si anak muda. Dengan bijak, Pak Tua itu
menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia Ialu
mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di
samping telaga itu. "Anak muda, dengarlah. Pahitnya
kehidupan, adalah Iayaknya segenggam garam, tak
Iebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu
adalah sama, dan memang akan tetap sama.
"Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat
tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan
itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita
meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung
pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan
dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang
bisa kamu Iakukan. Lapangkanlah dadamu menerima
semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung
setiap kepahitan itu."
Pak Tua itu Ialu kembali memberikan nasehat.
"Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah
tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu
menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu
itu seperti gelas, buatlah Iaksana telaga yang
mampu meredam setiap kepahitan itu dan
merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan."
Keduanya Ialu beranjak pulang. Mereka sama-sama
belajar hari itu. Dan Pak Tua, si orang bijak itu,
kembali menyimpan "segenggam garam", untuk
anak muda yang lain, yang sering datang padanya
membawa keresahan jiwa.
Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada
suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang
sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya
gontai dan air muka yang ruwet. Tamu itu, memang
tampak seperti orang yang tak bahagia. Tanpa
membuang waktu, orang itu menceritakan semua
masalahnya. Pak Tua yang bijak, hanya
mendengarkannya dengan seksama. Ia Ialu
mengambil segenggam garam, dan meminta
tamunya untuk mengambil segelas air.
Ditaburkannya garam itu kedalam gelas, Ialu
diaduknya perlahan. "Coba, minum ini, dan katakan
bagaimana rasanya..", ujar Pak tua itu.
"Pahit. Pahit sekali", jawab sang tamu, sambil
meludah kesamping. Pak Tua itu, sedikit tersenyum.
Ia, lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi
telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya.
Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan
akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang
tenang itu. Pak Tua itu, Ialu kembali menaburkan
segenggam garam, ke dalam telaga itu. Dengan
sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-
aduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan
telaga itu. "Coba, ambil air dari telaga ini, dan
minumlah.Saat tamu itu selesai mereguk air itu, Pak
Tua berkata lagi, "Bagaimana rasanya?".
"Segar.", sahut tamunya. "Apakah kamu merasakan
garam di dalam air itu?", tanya Pak Tua lagi. "Tidak",
jawab si anak muda. Dengan bijak, Pak Tua itu
menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia Ialu
mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di
samping telaga itu. "Anak muda, dengarlah. Pahitnya
kehidupan, adalah Iayaknya segenggam garam, tak
Iebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu
adalah sama, dan memang akan tetap sama.
"Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat
tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan
itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita
meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung
pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan
dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang
bisa kamu Iakukan. Lapangkanlah dadamu menerima
semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung
setiap kepahitan itu."
Pak Tua itu Ialu kembali memberikan nasehat.
"Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah
tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu
menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu
itu seperti gelas, buatlah Iaksana telaga yang
mampu meredam setiap kepahitan itu dan
merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan."
Keduanya Ialu beranjak pulang. Mereka sama-sama
belajar hari itu. Dan Pak Tua, si orang bijak itu,
kembali menyimpan "segenggam garam", untuk
anak muda yang lain, yang sering datang padanya
membawa keresahan jiwa.
Su
Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada
suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang
sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya
gontai dan air muka yang ruwet. Tamu itu, memang
tampak seperti orang yang tak bahagia. Tanpa
membuang waktu, orang itu menceritakan semua
masalahnya. Pak Tua yang bijak, hanya
mendengarkannya dengan seksama. Ia Ialu
mengambil segenggam garam, dan meminta
tamunya untuk mengambil segelas air.
Ditaburkannya garam itu kedalam gelas, Ialu
diaduknya perlahan. "Coba, minum ini, dan katakan
bagaimana rasanya..", ujar Pak tua itu.
"Pahit. Pahit sekali", jawab sang tamu, sambil
meludah kesamping. Pak Tua itu, sedikit tersenyum.
Ia, lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi
telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya.
Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan
akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang
tenang itu. Pak Tua itu, Ialu kembali menaburkan
segenggam garam, ke dalam telaga itu. Dengan
sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-
aduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan
telaga itu. "Coba, ambil air dari telaga ini, dan
minumlah.Saat tamu itu selesai mereguk air itu, Pak
Tua berkata lagi, "Bagaimana rasanya?".
"Segar.", sahut tamunya. "Apakah kamu merasakan
garam di dalam air itu?", tanya Pak Tua lagi. "Tidak",
jawab si anak muda. Dengan bijak, Pak Tua itu
menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia Ialu
mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di
samping telaga itu. "Anak muda, dengarlah. Pahitnya
kehidupan, adalah Iayaknya segenggam garam, tak
Iebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu
adalah sama, dan memang akan tetap sama.
"Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat
tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan
itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita
meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung
pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan
dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang
bisa kamu Iakukan. Lapangkanlah dadamu menerima
semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung
setiap kepahitan itu."
Pak Tua itu Ialu kembali memberikan nasehat.
"Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah
tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu
menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu
itu seperti gelas, buatlah Iaksana telaga yang
mampu meredam setiap kepahitan itu dan
merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan."
Keduanya Ialu beranjak pulang. Mereka sama-sama
belajar hari itu. Dan Pak Tua, si orang bijak itu,
kembali menyimpan "segenggam garam", untuk
anak muda yang lain, yang sering datang padanya
membawa keresahan jiwa.

No comments:

Post a Comment